Tujuan Pedidikan Islam Part .II


PADA Hari Senin (12/7/2010), anak-anak sekolah kembali ke bangku sekolah, setelah menjalani libur panjang. Sebagian mereka adalah murid-murid yang menapaki jenjang pendidikan baru. Sebagian lain, hanya menjalani kenaikan kelas. Dalam situasi seperti ini, meskipun sudah pernah kita singgung sebelumnya, ada baiknya, kita semua – terutama orang tua dan guru – benar-benar menyadari apa tujuan sebenarnya dari sebuah proses pendidikan menurut pandangan Islam.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.” (hal. 150-151).

Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya. Manusia yang baik juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah SWT.

Dalam al-Quran dikatakan, manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat: 56) dan menjadi khalifah Allah di muka bumi (QS al-Baqarah: 30). Manusia dikaruniai akal, bukan hanya hawa nafsu dan naluri. Tugas manusia di bumi berbeda dengan binatang. Manusia bukan hanya hidup untuk memenuhi syahwat atau kepuasan jasadiahnya semata. Ada kebutuhan-kebutuhan ruhaniah yang harus dipenuhinya juga. Semua fungsi dan tugas manusia itu akan bisa dijalankan dengan baik dan benar jika manusia menjadi seorang yang beradab.

Banyak orang Indonesia hafal bunyi sila kedua dari Pancasila, yaitu: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”  Tapi, apakah banyak yang paham, sebenarnya, apa arti kata ”adil” dan kata ”beradab” dalam sila tersebut? Mungkin Presiden atau para pejabat negara juga tidak paham benar apa makna kata-kata “adil” dan “beradab”, sebab faktanya, banyak pejabat yang perilaku dan kebijakannya tidak adil dan tidak beradab. Lihatlah, banyak pejabat menggunakan mobil dan sarana mewah dengan uang rakyat, padahal begitu banyak rakyat yang kelaparan, kurang gizi, tidak bisa berobat dan kesulitan biaya pendidikan.

Di tengah jeritan banyak orang yang kesulitan biaya pendidikan sekolah anak-anaknya, muncul kebijakan membuat patung-patung di berbagai tempat dan program pelesiran ke berbagai negara. Tentu dengan uang rakyat. Saya pernah SMS seorang menteri karena meresmikan sebuah patung bernilai Rp 2 milyar. Ia menjawab, bahwa patung itu dibiayai oleh pengusaha, bukan dari anggaran negara. Meskipun begitu, menurut saya, tidak sepatutnya sang menteri meresmikan patung tersebut. Kita semakin sering mendengar pejabat berteriak, mari rakyat hemat BBM (Bahan Bakar Minyak), karena subsidi BBM sudah terlalu berat. Tapi, tengoklah, apakah mobil pejabat tersebut hemat BBM? Mobilnya impor; biaya operasionalnya ditanggung oleh uang rakyat, dan itu jelas boros. Kenapa Presiden dan para pejabat tidak menggunakan mobil yang sederhana dan hemat BBM? Tentu tidak menjadi soal jika mobil itu dibeli dengan uangnya sendiri dan BBM-nya juga beli sendiri, tidak menggunakan uang rakyat.

Mari kita lihat contoh lagi! Ini terjadi bukan hanya di kalangan pejabat, bahkan di kalangan ulama dan tokoh agama. Begitu sering kita mendengar seruan untuk menjadi orang taqwa. Kata ”taqwa” begitu mudah diucapkan; lancar didengarkan; pejabat bicara taqwa, ulama berkhutbah meyerukan taqwa. Ayat al-Quran juga sering dilantunkan: Yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang taqwa (Inna akramakum ’inda-Allaahi atqaakum).

Bicara dan ngomong taqwa memang mudah. Tapi, apa benar-benar seruan taqwa itu dijalankan, bahkan oleh para ulama dan tokoh agama? Allah menyebutkan, bahwa yang paling mulia adalah yang paling taqwa, bukan yang paling banyak hartanya, bukan yang paling cantik wajahnya, bukan yang paling populer, dan juga bukan yang paling tinggi jabatannya. Pesan al-Quran jelas: hormatilah yang paling taqwa! Tapi, lihatlah contoh-contoh dalam kehidupan nyata.

Lihatlah, saat para tokoh agama menggelar hajatan perkawinan buat anak-nya. Apakah orang taqwa yang didahulukan untuk bersalaman atau pejabat tinggi yang dihormati dan didahulukan. Kadangkala, banyak orang-orang ”kecil” yang sudah mengantri selama berpuluh-puluh menit, bahkan berjam-jam, kemudian  harus dihentikan, karena ada pejabat atau mantan pejabat datang; ada orang terkenal datang.

Apakah perilaku seperti itu adil dan beradab? Suatu ketika kepada pimpinan suatu partai Islam saya usulkan, agar jangan banyak-banyak membuat bendera dan spanduk kampanye, karena begitu banyak jalan di sekitar kediaman calon-calon legislatif partai itu yang rusak dan berlobang. Lucunya, sang calon bukan membeli semen atau aspal untuk m memperpaiki jalan, tetapi malah mencetak poster dan profil dirinya lalu dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitarnya. Seorang Ustad di Depok bercerita kepada saya, ia juga pernah menasehati seorang calon anggota legislatif yang datang kepada dirinya, meminta dukungan. Ustad itu menasehati sang calon, gunakan uang kampanye Anda untuk membantu pedagang-pedagang muslim di pasar-pasar rakyat yang kini terjepit rentenir. Ini nasehat yang sangat baik, agar seorang aktivis politik muslim bersikap adil dan beradab.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan makna ”adil” dan ”beradab” dalam sila kedua Pancasila?

Seperti diketahui, rumusan sila kedua itu merupakan bagian dari Piagam Jakarta yang dilahirkan oleh Panitia Sembilan BPUPK, tahun 1945, dan kemudian disahkan dan diterima oleh bangsa Indonesia, sampai  hari ini.  Sila kedua ini juga lolos dari sorotan berbagai pihak yang keberatan terhadap sebagian isi Piagam Jakarta, terutama rumusan sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Jika dicermati dalam sudut ”pandangan-alam Islam” (Islamic worldview), lolosnya sila kedua sebagai bagian dari Pancasila, itu cukup menarik.  Itu menunjukkan, pengaruh besar dari konsep Islam terhadap rumusan sila kedua tersebut. Perlu dicatat, rumusan sila kedua itu sangat berbeda dengan rumusan yang diajukan oleh  Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Ketika itu, Bung Karno mengusulkan “lima sila” untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.

Jadi, berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep kemanusiaan  yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan kemanusiaan yang zalim dan biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam manakah yang bisa menjelaskan makna ”adil” dan ”adab” secara tepat?  Jawabnya, tentu ”Pandangan-alam Islam”. Sebab, kedua istilah dan konsep itu memang istilah yang khas Islam. Cobalah simak dan cermati, apakah ada padanan kata yang tepat untuk istilah ”adil” dan ”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di wilayah Nusantara? Apakah bahasa Jawanya ”adil”? Apakah bahasa Sundanya ”adab”?

Bisa disimpulkan, kedua istilah dan konsep itu – yakni ”adil” dan ”adab” – mulanya memang hanya ditemukan dalam konsep Islam, dan karena itu harus dicarikan maknanya dalam Islam. Minimal, tidaklah salah, jika orang Muslim di Indonesia menafsirkan kedua istilah itu secara Islami. Rumusan sila kedua Pancasila itu menunjukkan, bahwa Pancasila sejatinya bukan sebuah konsep sekular atau konsep netral agama, sebagaimana sering dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade ini.

Masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi yang lebih jelas tentang cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam (Islamic worldview) pada rumusan Pancasila. Itu juga ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang maknanya sangat khas Islam, seperti kata “hikmah” dan “musyawarah”.  Karena dua kata – adil dan adab -- ini jelas berasal dari kosakata Islam, yang memiliki makna khusus (istilaahan), maka hanya bisa dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-alam Islam.

Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat  dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90). 

Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar,  menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini, yaitu  “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulis Hamka.

Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam, seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-alam Islam, karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya. Jika konsep adil dipahami dalam kerangka pandangan-alam Barat (western worldview), maka akan berubah maknanya. Sejumlah aktivis ”Kesetaraan Gender” atau feminis liberal, yang berpedoman pada konsep “setara” menurut pandangan-alam Barat, misalnya, mulai menggugat berbagai ajaran Islam yang dinilai menerapkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.

Dipertanyakan, misalnya, mengapa aqiqah untuk bayi laki-laki, misalnya,  adalah dua kambing dan aqiqah untuk bayi perempuan adalah 1 kambing. Konsep itu dinilai tidak adil dan diskriminatif. Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan adalah adil. Menurut konsep yang lain,  bisa dikatakan tidak adil. Dalam pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan antara hak “orang jahat” dengan”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika Presiden – yang tidak ada hubungan keluarga apa pun – berhak memberikan grasi kepada seorang terhukum.

Tetapi, dalam Islam, yang lebih adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada keluarga korban kejahatan. Jadi, kata adil, memang sangat beragam maknanya, tergantung pandangan-alam apa yang digunakan. Sejumlah kalangan, dengan alasan HAM,  menilai aturan Islam tidak adil, karena melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Juga dengan dasar yang sama, mereka menuntut keadilan, agar kaum homoseksual dan lesbian juga diberikan hak yang sama untuk diakui keabsahan pernikahan mereka, sebagaimana pernikahan kaum hetero. Lama-lama, bisa juga mereka menuntut hak untuk pengesahan perkawinan manusia dengan binatang, dengan alasan, tidak mengganggu orang lain. Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk hidup. Dan sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua – Kemanusiaan yang adil dan beradab – dilepaskan maknanya dari sudut pandangan-alam Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang hakiki.

Bagi kaum Muslim, khususnya, cendekiawan Muslim Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan perlunya memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam dengan benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan dalam memahami Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut Prof. Naquib, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur dipergunakan sewenang-wenang sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of language).

Contoh kasus penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai “tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah adab, yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007)).

Mudah-mudahan rumah tangga kaum Muslim dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia benar-benar mampu melahirkan manusia-manusia yang adil dan beradab, sebagaimana yang telah dikonsepkan dalam Islam; bukan manusia yang zalim dan biadab! [Bogor, Juli 2010/ hidayatullah.com]

Misy'al: Bom Tepi Barat Akan Meledak Dalam Waktu Dekat


Damaskus – Infopalestina: Kepala Biro Politik Hamas, Khalid Misy'al menegaskan bahwa "perlawanan" adalah jalan satu-satunya membebaskan Al-Quds, mengembalikan pengungsi Palestina dan mendirikan Negara Palestina. Ia memastikan bahwa tangan-tangan perlawanan masih ditahan dan bom Gaza masih menjadi jalan legal serta bom perlawanan Tepi Barat akan segera meledak dalam waktu dekat.
Dalam sambutannya selama acara perayaan peringatakan Pembukaan (Pembebasan) Al-Quds oleh Shalahuddin Al-Ayyubi yang digelar oleh lembaga Al-Quds Internasional kemarin Jumat (29/10) di Damaskus, Misy'al menambahkan, "Jika kita ingin mengembalikan Al-Quds dan Palestina makan jalanya sangat jelas; yakni perlawanan. Adapun pelucutan senjata perlawanan dan mengejarnya, menggugurkan pilihan militer, melakukan koordinasi keamanan, mengandalkan perundingan, memberikan harga diri kepada Amerika, maka itu tidak akan mengantarkan kepada pembebasan dan kemerdekaan."
Misy'al menyampaikan cara Hamas mengembalikan Al-Quds dan mendirikan Negara Palestina yakni dengan perlawanan, bom, senapan, dan konfrontasi militer dengan Israel. "Tidak ada jalan pembebasan, mendapatkan Al-Quds kembali, hak kembali pengungsi Palestina atau Negara Palestina kecuali dengan perlawanan." Tegas Misy'al.
Misyal menyebut perundingan Palestina dengan Israel seperti pencari ilusi. Ia menyatakan, "tanpa perlawanan, hak-hak kita akan hilang. Saya katakana kepada pembuat konspirasi dunia yang mengirim kepada kami jenderal Dayton, bahwa kalian membangun tumpukan ilusi. Sebab di Tepi Barat, jihad dan perlawanan akan kembali menggelar perang untuk mengembalikan Al-Quds dan Al-Aqsha."
Ia mengatakan, "Jalan ke Al-Quds, pembebasan, dan Negara berdaulat dimulai dari perlawanan. Kemudian mengembalikan barisan nasional Palestina. Rekonsiliasi Palestina adalah langkah pertama menuju pembenahan internal Palestina." (bn-bsyr)

Dzikir Melahirkan Akhlak yang Mulia



Kita hidup Senantiasa dalam kesaksian, setiap kita diberi hati oleh Allah dan di dalam hati itu ada nur, partikel hidayah terkecil diberikan kepada kita. Dari situlah kita bisa mengenal diri kita tanpa harus bertanya kepada orang yang terdekat sekalipun. Hati nurani itu akan menjelaskan bahkan menceritakan dengan apiknya, semua kejadian-kejadian dengan lengkap.
Perbuatan maksiat apa yang kita lakukan yang lalu atau tadi malam, hati nurani itu merekan dan tidak ada yang tidak dicatat. Firman Allah :إِنَّ اْلإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ , artinya : “Sungguh manusia itu benar-benar ingkar / kufur kepada Allah” (QS. 100 Al-Aadiyat : 6). 
Karena dia melakukan maksiat dalam kesaksian dirinya, ketika tangan menerima sesuatu yang tidak halal, sadar ini tidak halal, tapi tidak sanggup untuk menolaknya, ketika kaki melangkah ke tempat yang tidak terpuji, sadar ini jalan kemungkaran, tapi tidak sanggup menghetikan walau kaki sendiri atau ketika mulut ghibah, fitnah, dusta, ini dosa besar, lagi-lagi tidak bisa mengendalikan walau mulut kia sendiri.
Inilah hati yang sudah diraksuki oleh hawa nafsu, sehingga nur yang ada dihati itu digelapkan, ditutupi dengan perlakuan kita kepada diri kita sendiri.  Sebenarnya ketika kita melakukan kezaliman, kita lebih dahulu menzalimi diri kita, dan tatkala kita mendustai orang lain, kita lebih dahulu didustai, jangan pernah bangga mendustai orang lain.
Malaikat-malaikat senantiasa menyaksikan perbuatan kita. “Kiroman Katibin ya’lamuna maalaata’lamun”, tidak ada yang tidak dicatat oleh para malaikat. Allah berfirman,مَايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّلَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيدٌ , artinya : “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. 50 Qaaf : 18).  Keimanan kita kepada kalam Allah ini membuat kita berhati-hati setiap tutur kata, apalagi cerita dalam hidup ini, karena Rasulullah SAW bersabda : قُلْ خَيْرًااَوْلِيَصْحُتْ , “Berkatalah baik dan benar, kalau tidak diam”.
Inilah ciri khas hamba-hamba Allah yang beriman, bukan hanya menyampaikan, tapi sampai pada pilihan yang tepat. Dari semua perkataan-perkataan dimuka bumi yang diucapkan oleh mahluk Allah dalam hitungan detik, dari perkataan sejak lahir atau aqil baligh diklaripikasikan dari semua kata-kata dari mulut. Kata-kata yang paling disukai Allah dan para malaikat dzikir kepada Allah SWT.
Di dalam berda’wah Allah SWT telah berfirman ; وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّنْ دَعَاإٍلَى اللهِ, artinya : “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah…” (QS.41 Fushilat : 33).  Perkataan mengajak kejalan Allah itulah perkataan yang disukai oleh para malaikat. Kemudian yang ketiga, alam semesta ini merekam, mencatat segala aktivitas kita, jangan dianggap benda mati dalam hukum alam, tapi berlaku hukum sunnatullah.
Bahwa alam ini hidup bergerak mencatat segala lakon yang kita buat, langkah demi langkah kehidupan kita, bekas-bekas semua dihimpun oleh Allah dan akan menjadi saksi apa-apa yang kita perbuat. Alam semesta, matahari, bulan, bintang, partikel, sel. Allah tegaskan dalam Al-Qur’an, sungguh bertasbih kepada Allah yang Maha perkasa Allah lagi Maha bijaksana.  Alam semesta ini sangat sayang, sangat cinta kepada hamba-hamba Allah yang senantiasa berdzikir kepada Allah, dari dzikirnya lahirlah akhlaq yang mulia, kemudian puncak dari segala saksi adalah Allah yang menggerakkan semua saksi.
Kalau kita terus dalam kesaksian, hati ini menyaksikan kita, dan Allah puncak dari segala saksi yang menyaksikan kita, bagaimana mungkin kita melakukan maksiat, bagaimana kita bisa berbuat zholim, inilah ihsan buah keimanan kita dari Allah SWT.  Karena itulah, hamba Allah yang beriman yang senantiasa disaksikan oleh Allah hadir pada dirinya sifat teragung, al ikhlas, percaya dirinya hanya untuk Allah, ia lakukan semua karena Allah dan ia hidup dalam syariat Allah.
Dari mahkamah kesadaran bahkan keyakinan dalam kesaksian inilah melahirkan kekuatan aqidah, ibadah dengan khusyu’ dengan deraian air mata, hati yang terjaga berdzikir kepada Allah, tetapi sudah melahirkan kekhusyu’an, merasakan ni’mat dalam tatapan Allah dan akhlaknyapun mulia.




 Oleh: H. Moh. Arifin Ilham 
Posted on by E-Center Istiqlal
(Intisari Khutbah Jum’at tanggal, 05 Agustus 2005 M / 29 Rabiul Akhir 1426 H)

 

Tujuan Pendidikan Islam

Definisi pendidikan menurut para ahli, diantaranya adalah :
Ø Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
(A. Yunus, 1999 : 7)
Ø Menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
(A. Yunus, 1999 : 7)
Ø Menurut Frederick J. Mc Donald, pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh sesorang.
(A. Yunus, 1999 : 7-8)
Ø Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.
(A. Yunus, 1999 : 8)
1.2.Definisi Pendidikan Menurut Islam
Ø Pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.
(Nur Uhbiyati, 1998)
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).
Ø Ruang Lingkup Pendidikan Islam
1. Pendidikan Keimanan
Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberikan pelajaran kepadanya:”hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesengguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang nyata.” (Q.S 31:13)
Bagaimana cara mengenalkan Allah SWT dalam kehidupan anak?
  • Menciptakan hubungan yang hangat dan harmonis (bukan memanjakan)
    Jalin hubungan komunikasi yang baik dengan anak, bertutur kata lembut, bertingkah laku positif.
    Hadits Rasulullah : “cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka…:” (H.R Bukhari)
    Barang siapa mempunyai anak kecil, hendaklah ia turut berlaku kekanak-kanakkan kepadanya.”    (H.R Ibnu Babawaih dan Ibnu Asakir)
  • Menghadirkan sosok Allah melalui aktivitas rutin
Seperti ketika kita bersin katakan alhamdulillah. Ketika kita memberikan uang jajan katakan bahwa uang itu titipan Allah jadi harus dibelanjakan dengan baik seperti beli roti.
  • Memanfaatkan momen religious
Seperti Sholat bersama, tarawih bersama di bulan ramadhan, tadarus, buka shaum bareng.
  • Memberi kesan positif tentang Allah dan kenalkan sifat-sifat baik Allah
    Jangan mengatakan “ nanti Allah marah kalau kamu berbohong” tapi katakanlah “ anak yang jujur disayang Allah”.
  • Beri teladan
Anak akan bersikap baik jika orang tuanya bersikap baik karena anak menjadikan orang tua model atau contoh bagi kehidupannya.
hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”.(Q.S 61:2-3)
  • Kreatif dan terus belajar
Sejalan dengan perkembangan anak. Anak akan terus banyak memberikan pertanyaan. Sebagai orang tua tidak boleh merasa bosan dengan pertanyaan anak malah kita harus dengan bijaksana menjawab segala pertanyaannya dengan mengikuti perkembangan anak.
2. Pendidikan Akhlak
Hadits dari Ibnu Abas Rasulullah bersabda:
“… Akrabilah anak-anakmu dan didiklah akhlak mereka.”
Rasulullah saw bersabda:
Suruhlah anak-anak kamu melakukan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan pukullah mereka kalau meninggalkan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud)
Bagaimana cara megenalkan akhlak kepada anak :
  • Penuhilah kebutuhan emosinya
Dengan mengungkapkan emosi lewat cara yang baik. Hindari mengekspresikan emosi dengan cara kasar, tidak santun dan tidak bijak. Berikan kasih saying sepenuhnya, agar anak merasakan bahwa ia mendapatkan dukungan.
Hadits Rasulullah : “ Cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka …:” (H.R Bukhari)
  • Memberikan pendidikan mengenai yang haq dan bathil
Dan janganlah kamu campur adukan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui .”(Q.S 2:42)
Seperti bahwa berbohong itu tidak baik, memberikan sedekah kepada fakir miskin itu baik.
  • Memenuhi janji
Hadits Rasulullah :”…. Jika engkau menjanjikan sesuatu kepada mereka, penuhilah janji itu. Karena mereka itu hanya dapat melihat, bahwa dirimulah yang memberi rizki kepada mereka.” (H.R Bukhari)
  • Meminta maaf jika melakukan kesalahan
  • Meminta tolong/ mengatakan tolong jika kita memerlukan bantuan.
  • Mengajak anak mengunjungi kerabat
3. Pendidikan intelektual
Menurut kamus Psikologi istilah intelektual berasal dari kata intelek yaitu proses kognitif/berpikir, atau kemampuan menilai dan mempertimbangkan.
Pendidikan intelektual ini disesuaikan dengan kemampuan berpikir anak. Menurut Piaget seorang Psikolog yang membahas tentang teori perkembangan yang terkenal juga dengan Teori Perkembangan Kognitif mengatakan ada 4 periode dalam perkembangan kognitif manusia, yaitu:
Periode 1, 0 tahun – 2 tahun (sensori motorik)
  • Mengorganisasikan tingkah laku fisik seperti menghisap, menggenggam dan memukul pada usia ini cukup dicontohkan melalui seringnya dibacakan ayat-ayat suci al-Quran atau ketika kita beraktivitas membaca bismillah.
Periode 2, 2 tahun – 7 tahun (berpikir Pra Operasional)
  • Anak mulai belajar untuk berpikir dengan menggunakan symbol dan khayalan mereka tapi cara berpikirnya tidak logis dan sistematis.
Seperti contoh nabi Ibrahim mencari Robbnya.
Periode 3, 7 tahun- 11 tahun (Berpikir Kongkrit Operasional)
  • Anak mengembangkan kapasitas untuk berpikir sistematik
Contoh : Angin tidak terlihat tetapi dapat dirasakan begitu juga dengan Allah SWT tidak dapat dilihat tetapi ada ciptaannya.
Periode 4, 11 tahun- Dewasa (Formal Operasional)
  • Kapasitas berpikirnya sudah sistematis dalam bentuk abstrak dan konsep
4. Pendidikan fisik
  • Dengan memenuhi kebutuhan makanan yang seimbang, memberi waktu tidur dan aktivitas yang cukup agar pertumbuhan fisiknya baik dan mampu melakukan aktivitas seperti yang disunahkan Rasulullah
“ Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang dan menunggang kuda.” (HR. Thabrani)
5. Pendidikan Psikis
“Dan janganlah kamu bersifat lemah dan jangan pula berduka cita, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. 3:139)
  • Memberikan kebutuhan emosi, dengan cara memberikan kasih saying, pengertian, berperilaku santun dan bijak.
  • Menumbuhkan rasa percaya diri
  • Memberikan semangat tidak melemahkan
1.3.Definisi Pendidikan Menurut Perspektif Nasional
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di antaranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

ILMU DAN MORAL

 
I.        PENDAHULUAN

                  Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu. Menurut John Naisbitt, era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi yang ditandai dengan beberapa indikator, diantaranya masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama hingga masalah gizi, dan masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Sebagai sebuah kajian filsafat, ilmu dapat dikaji dalam perspektif hakikat dan memposisikannya dalam sudut landasan Ontologi, obyek apa yang ditelaah ilmu ?, Epistemologi, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?, Aksiologi, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Mengkaji ilmu dari sudut pandang filsafat, berarti menyelami hakikat ilmu lewat pendekatan; menyeluruh/universal, mendasar, spekulatif, radikal, konseptual, bebas, dan bertanggungjawab.
Pandangan ini akan memberi gambaran, bahwa ilmu sebagai sesuatu yang mulia dianugerahkan Allah Swt kepada umat manusia ternyata terkait erat dengan moral

II.      PEMBAHASAN
A.     Pengertian dan konsep ilmu

Kata ilmu berasal dari bahasa arab yaitu : “ilm” dalam ensikopedia islam diartikan sebagai “pengetahuan”, dalam sebuah hadits disebutkan :” menuntut pengetahuan (‘ilmu) adalah wajib bagi setiap muslim”.[1]

a.      Hakikat Ilmu
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berfikir, merupakan obor dan semen peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidupnya dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai dunia komputer saat ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya.
Masalah yang menjadi bahan pemikiran manusia, begitu banyak dan beragam. Namun pada hakikatnya upaya manusia untuk mendapatkan pengetahuan karena dilandasi oleh tiga masalah pokok yaitu; landasan ontologis, Obyek apa yang ditelaah ilmu ?, landasan epistemologis, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?, landasan aksiologis, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?
Ilmu atau sains berarti teori yang pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat.
 Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia (das sollen).
Dalam kajian filsafat ilmu, pembahasan ilmu selalu dikaitkan dengan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis, landasan Ontologis, ilmu memba,tasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ontologis membahas tentang yang ada, universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Landasan Epistemologis, membahas bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Landasan Aksiologis, membahas untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
 Ilmu yang diterapkan di dalam masyarakat hendaknya bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Adalah sangat bijaksana apabila manusia-manusia di muka bumi ini dapat memanfaatkan ilmunya untuk mempelajari berbagai gejala atau peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan ilmu hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang asasi, dan semua orang akan menyambut gembira bila ilmu ini benar-benar dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia.[2]

b.      Konsep ilmu menurut para ahli

1.      Mulyadhi Kartanegara (2000)
 Konsep ilmu dalam Islam meliputi yang ghaib (metafisik) dan nyata (fisik) yang diperoleh melalui indera, akal, dan intuisi/nalar.
2.      Afzalur Rahman
Konsep ilmu menurut penulis buku Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran ini adalah: "... Ilmu dapat menggapai Sang Pencipta melalui observasi yang teliti dan tepat tentang hukum-hukum yang mengatur alam ini."
3.      Al Ghazali
Dalam Ihya' Ulumuddin, Al Ghazali mengungkapkan tentang konsep ilmu. Menurutnya, ilmu terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a.      Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah wajib. Setiap orang wajib mendalami ilmu-ilmu tersebut (fardhu a'in).
b.      Imu-ilmu yang berkaitan dengan ruang public, misalnya: ilmu kedokteran, ilmu sosiologi, ilmu komputer, dan lain-lain. Tidak semua orang wajib mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Beberapa orang saja yang mempelajarinya sudah cukup (fardhu kifayah).

4.      Danah Johar dan Ian Marshal
Dua ilmuwan ini mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul SQ (Kecerdasan Spiritual) bahwa ilmu pengetahuan membantu manusia untuk memahami hal-hal yang bersifat spiritual.
5.      Plato
Konsep ilmu yang digagas oleh Plato, yaitu konsep ide sebagai realitas sejati. Adapun pengalaman dan penelitian merupakan ingatan dari dunia ide.
6.      Anaximandros
Dia berpendapat bahwa: "Semua adalah yang tak terbatas".
7.      Thales dari Milletos 
Ilmuwan yang satu ini menyampaikan konsep ilmu sebagai berikut, "Semua adalah air".
8.      Aristoteles
Murid Plato ini menyumbangkan pemikirannya yang berseberangan dengan Sang Guru. Konsep ilmu yang ditawarkan mengenai realitas sejati merupakan hasil dari melihat, mengamati, mendengar, dan meneliti suatu objek. Kemudian, akal pikiranlah yang akan mengolah menjadi suatu kesadaran.
c.    Konsep ilmu di dalam Al-Quran
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi ..." (Al-Quran, Surah Ali-Imran [3]: 190-191)
d.         Konsep ilmu di dalam Bibel
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan segala binatang yang merayap di bumi". (Al-Kitab Kejadian 1:28b).[3]
B.      Pengertian moral

Kata moral berasal dari bahasa latin mos jamaknya mores yang berarti adat dan kebiasaan hidup. Dalam bahasa inggris moral  mempunyai arti: kondisi mental manusia, merasakan, mengetahui dan menghayati tingkah laku yang baik menurut agama yang dianut dan menurut nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.[4]

a.         Hakikat Moral
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
b.               Antara moral dan etika
Moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno sebagai mana yang dikutip oleh Surajiyo membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khutbah peraturan lisan atau tulisan tentang bagai mana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para orang bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pendangan moral. Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi, etika  dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagai mana kita harus hidup, bukan etika melainkan moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. [5]

C. Ilmu dalam Perspektif Moral
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusun penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi”.
Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
 Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
1)      ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan
2)      ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan.
3)      ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab profesional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis. Tanggung jawab profesional ini mencakup asas:
 (1) kebenaran
 (2) kejujuran
(3) tanpa kepentingan langsung
 (4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi
 (5) rasional
 (6) obyektif
 (7) kritis
 (8) terbuka
 (9) pragmatis; dan
 (10) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asas kebenaran, kejujuran, bebas kepentingan dan dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan.
Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggung jawaban ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok ilmuwan pertama menafsirkan bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada masyarakat untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuwan kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal dalam mendekati kedua permasalahan tersebut di atas.
Einstein dan Socrates mungkin benar, ilmu pengetahuan ternyata juga mendatangkan malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan politik, ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, teknologi dan militer dapat saja mendatangkan kesejahteraan, sekaligus menimbulkan malapetaka bagi manusia. Sosiolog Rene Descartes mengatakan “ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah bodoh”.[6] Sedangkan menurut Abdullah ibnu abdul Barr: ilmu mempunyai posisi kenabian dan wahyu, dan ilmu menurutnya mencakup ilmu dunia dan agama, maka setiap ilmu yang membawa manfaat dan mengandung kebaikan bagi pembentukan hidup manusia tegolong pada ilmu yang terpuji dan bergarga.[7]
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
Peran Moral Terhadap Ilmu Pengetahuan
1. Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal,    tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok.
2. Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni tanggungjawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
3. Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya.
4. Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau mengawalnya. Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas martabat kemanusiaan.
Hal tersebut di atas, membuat para ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai pilihan lain selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber moral (das sollen) sikap formal kita.
Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan.[8]





III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan diatas tenteng ilmu, moral, dan hubungan keduanya dapat diterik kesimpulan sebagai berikut:
v  Dalam kajian filsafat ilmu, pembahasan ilmu selalu dikaitkan dengan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
v  Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh mansuia (das sollen).
v  Keilmuan harus dilandasi dengan moral, karena keilmuan tanpa didasari dengn moral maka akan menimbulkan mudarat bagi manusia dan makhluk tuhan yang lainnya.
v  Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif-alternatif untuk membuat berbagai keputusan strategis dengan berkiblat kepada pertimbangan-pertimbangan moral ethis.
v  Ilmuwan mempunyai tanggung jawab profesional, khususnya di dunia ilmu dan dalam masyarakat keilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang dipakainya.
v  Ia juga memiliki tanggung jawab sosial, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya.
v  Masalah moral bukan saja hanya terdapat pada taraf penggunan hasil ilmu, tetapi juga sudah pada taraf pembuatannya.






DAFTAR PUSTAKA

1.      Suyono, Ariyono, Drs. Kamus Antropologi, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985)
2.      Glasse, Cyril, Ensiklopedia Islam Terjemahan, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 1999)
3.      Surajiyo, Drs. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
4.      Abdul salam, Muhammad, Al-A’jami, Tarbiyah Islamiyah, (Al-ruyadh: Daarun Nasri wa Dauli,2006)
7.      http://khaliqida.blogspot.com/ Ilmu dalam perspektif moral/30/06/2010



[1]  Cryril glasse, Ensiklopedia islam diterjemahkan oleh: Ghufron A. Mas’udi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 165
[2] http://khaliqida.blogspot.com/Ilmu dalam perspektif moral/30/06/2010
[4] Aryono suyono, kamus antropologi, (Jakarta: CV. Akademika pressindo, 1985), h.264
[5] Drs. Suraiyo, filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 147

[6] http://khaliqida.blogspot.com /Ilmu dalam perspektif moral/30/06/2010
[7] Muhammad abdul salam Al-‘ajami, Tarbiyah Islamiyah, (Al-ruyadh: Daarun Nasri wa Dauli,2006),h.203

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme