ILMU DAN MORAL

 
I.        PENDAHULUAN

                  Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu. Menurut John Naisbitt, era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi yang ditandai dengan beberapa indikator, diantaranya masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama hingga masalah gizi, dan masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Sebagai sebuah kajian filsafat, ilmu dapat dikaji dalam perspektif hakikat dan memposisikannya dalam sudut landasan Ontologi, obyek apa yang ditelaah ilmu ?, Epistemologi, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?, Aksiologi, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Mengkaji ilmu dari sudut pandang filsafat, berarti menyelami hakikat ilmu lewat pendekatan; menyeluruh/universal, mendasar, spekulatif, radikal, konseptual, bebas, dan bertanggungjawab.
Pandangan ini akan memberi gambaran, bahwa ilmu sebagai sesuatu yang mulia dianugerahkan Allah Swt kepada umat manusia ternyata terkait erat dengan moral

II.      PEMBAHASAN
A.     Pengertian dan konsep ilmu

Kata ilmu berasal dari bahasa arab yaitu : “ilm” dalam ensikopedia islam diartikan sebagai “pengetahuan”, dalam sebuah hadits disebutkan :” menuntut pengetahuan (‘ilmu) adalah wajib bagi setiap muslim”.[1]

a.      Hakikat Ilmu
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berfikir, merupakan obor dan semen peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidupnya dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai dunia komputer saat ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya.
Masalah yang menjadi bahan pemikiran manusia, begitu banyak dan beragam. Namun pada hakikatnya upaya manusia untuk mendapatkan pengetahuan karena dilandasi oleh tiga masalah pokok yaitu; landasan ontologis, Obyek apa yang ditelaah ilmu ?, landasan epistemologis, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?, landasan aksiologis, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?
Ilmu atau sains berarti teori yang pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat.
 Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia (das sollen).
Dalam kajian filsafat ilmu, pembahasan ilmu selalu dikaitkan dengan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis, landasan Ontologis, ilmu memba,tasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ontologis membahas tentang yang ada, universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Landasan Epistemologis, membahas bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Landasan Aksiologis, membahas untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
 Ilmu yang diterapkan di dalam masyarakat hendaknya bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Adalah sangat bijaksana apabila manusia-manusia di muka bumi ini dapat memanfaatkan ilmunya untuk mempelajari berbagai gejala atau peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan ilmu hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang asasi, dan semua orang akan menyambut gembira bila ilmu ini benar-benar dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia.[2]

b.      Konsep ilmu menurut para ahli

1.      Mulyadhi Kartanegara (2000)
 Konsep ilmu dalam Islam meliputi yang ghaib (metafisik) dan nyata (fisik) yang diperoleh melalui indera, akal, dan intuisi/nalar.
2.      Afzalur Rahman
Konsep ilmu menurut penulis buku Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran ini adalah: "... Ilmu dapat menggapai Sang Pencipta melalui observasi yang teliti dan tepat tentang hukum-hukum yang mengatur alam ini."
3.      Al Ghazali
Dalam Ihya' Ulumuddin, Al Ghazali mengungkapkan tentang konsep ilmu. Menurutnya, ilmu terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a.      Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah wajib. Setiap orang wajib mendalami ilmu-ilmu tersebut (fardhu a'in).
b.      Imu-ilmu yang berkaitan dengan ruang public, misalnya: ilmu kedokteran, ilmu sosiologi, ilmu komputer, dan lain-lain. Tidak semua orang wajib mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Beberapa orang saja yang mempelajarinya sudah cukup (fardhu kifayah).

4.      Danah Johar dan Ian Marshal
Dua ilmuwan ini mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul SQ (Kecerdasan Spiritual) bahwa ilmu pengetahuan membantu manusia untuk memahami hal-hal yang bersifat spiritual.
5.      Plato
Konsep ilmu yang digagas oleh Plato, yaitu konsep ide sebagai realitas sejati. Adapun pengalaman dan penelitian merupakan ingatan dari dunia ide.
6.      Anaximandros
Dia berpendapat bahwa: "Semua adalah yang tak terbatas".
7.      Thales dari Milletos 
Ilmuwan yang satu ini menyampaikan konsep ilmu sebagai berikut, "Semua adalah air".
8.      Aristoteles
Murid Plato ini menyumbangkan pemikirannya yang berseberangan dengan Sang Guru. Konsep ilmu yang ditawarkan mengenai realitas sejati merupakan hasil dari melihat, mengamati, mendengar, dan meneliti suatu objek. Kemudian, akal pikiranlah yang akan mengolah menjadi suatu kesadaran.
c.    Konsep ilmu di dalam Al-Quran
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi ..." (Al-Quran, Surah Ali-Imran [3]: 190-191)
d.         Konsep ilmu di dalam Bibel
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan segala binatang yang merayap di bumi". (Al-Kitab Kejadian 1:28b).[3]
B.      Pengertian moral

Kata moral berasal dari bahasa latin mos jamaknya mores yang berarti adat dan kebiasaan hidup. Dalam bahasa inggris moral  mempunyai arti: kondisi mental manusia, merasakan, mengetahui dan menghayati tingkah laku yang baik menurut agama yang dianut dan menurut nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.[4]

a.         Hakikat Moral
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
b.               Antara moral dan etika
Moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno sebagai mana yang dikutip oleh Surajiyo membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khutbah peraturan lisan atau tulisan tentang bagai mana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para orang bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pendangan moral. Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi, etika  dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagai mana kita harus hidup, bukan etika melainkan moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. [5]

C. Ilmu dalam Perspektif Moral
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusun penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi”.
Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
 Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
1)      ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan
2)      ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan.
3)      ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab profesional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis. Tanggung jawab profesional ini mencakup asas:
 (1) kebenaran
 (2) kejujuran
(3) tanpa kepentingan langsung
 (4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi
 (5) rasional
 (6) obyektif
 (7) kritis
 (8) terbuka
 (9) pragmatis; dan
 (10) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asas kebenaran, kejujuran, bebas kepentingan dan dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan.
Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggung jawaban ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok ilmuwan pertama menafsirkan bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada masyarakat untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuwan kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal dalam mendekati kedua permasalahan tersebut di atas.
Einstein dan Socrates mungkin benar, ilmu pengetahuan ternyata juga mendatangkan malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan politik, ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, teknologi dan militer dapat saja mendatangkan kesejahteraan, sekaligus menimbulkan malapetaka bagi manusia. Sosiolog Rene Descartes mengatakan “ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah bodoh”.[6] Sedangkan menurut Abdullah ibnu abdul Barr: ilmu mempunyai posisi kenabian dan wahyu, dan ilmu menurutnya mencakup ilmu dunia dan agama, maka setiap ilmu yang membawa manfaat dan mengandung kebaikan bagi pembentukan hidup manusia tegolong pada ilmu yang terpuji dan bergarga.[7]
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
Peran Moral Terhadap Ilmu Pengetahuan
1. Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal,    tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok.
2. Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni tanggungjawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
3. Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya.
4. Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau mengawalnya. Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas martabat kemanusiaan.
Hal tersebut di atas, membuat para ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai pilihan lain selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber moral (das sollen) sikap formal kita.
Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan.[8]





III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan diatas tenteng ilmu, moral, dan hubungan keduanya dapat diterik kesimpulan sebagai berikut:
v  Dalam kajian filsafat ilmu, pembahasan ilmu selalu dikaitkan dengan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
v  Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh mansuia (das sollen).
v  Keilmuan harus dilandasi dengan moral, karena keilmuan tanpa didasari dengn moral maka akan menimbulkan mudarat bagi manusia dan makhluk tuhan yang lainnya.
v  Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif-alternatif untuk membuat berbagai keputusan strategis dengan berkiblat kepada pertimbangan-pertimbangan moral ethis.
v  Ilmuwan mempunyai tanggung jawab profesional, khususnya di dunia ilmu dan dalam masyarakat keilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang dipakainya.
v  Ia juga memiliki tanggung jawab sosial, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya.
v  Masalah moral bukan saja hanya terdapat pada taraf penggunan hasil ilmu, tetapi juga sudah pada taraf pembuatannya.






DAFTAR PUSTAKA

1.      Suyono, Ariyono, Drs. Kamus Antropologi, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985)
2.      Glasse, Cyril, Ensiklopedia Islam Terjemahan, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 1999)
3.      Surajiyo, Drs. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
4.      Abdul salam, Muhammad, Al-A’jami, Tarbiyah Islamiyah, (Al-ruyadh: Daarun Nasri wa Dauli,2006)
7.      http://khaliqida.blogspot.com/ Ilmu dalam perspektif moral/30/06/2010



[1]  Cryril glasse, Ensiklopedia islam diterjemahkan oleh: Ghufron A. Mas’udi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 165
[2] http://khaliqida.blogspot.com/Ilmu dalam perspektif moral/30/06/2010
[4] Aryono suyono, kamus antropologi, (Jakarta: CV. Akademika pressindo, 1985), h.264
[5] Drs. Suraiyo, filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 147

[6] http://khaliqida.blogspot.com /Ilmu dalam perspektif moral/30/06/2010
[7] Muhammad abdul salam Al-‘ajami, Tarbiyah Islamiyah, (Al-ruyadh: Daarun Nasri wa Dauli,2006),h.203

0 Response to "ILMU DAN MORAL"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme