MANUSIA DAN TUJUAN HIDUP
19.19
M.masrur
,
0 Comments
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya.
Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami. Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.
Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna. Ulum al-Qur’an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab Ulum al-Qur’an yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w.794 H) dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H). Ilm Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik).
Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsir ; al-Qur’an yufassirû ba’dhuhu ba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistic (sepotong-sepotong).
PEMBAHASAN
Surat Al-baqarah ayat: 30
Artinya: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah: 30)
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wa idz qâla Rabbuka li al-malâikah (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat). Huruf idz merupakan zharf az-zamân (kata keterangan) untuk menunjukkan waktu lampau. Dalam konteks kalimat ini, huruf tersebut menyimpan kata udzkur (ingatlah). Khithâb-nya ditujukan kepada Rasulullah saw. Ini terlihat pada dhamîr mukhâthab ka pada kata Rabbuka yang menunjuk kepada beliau. Karena itu, Ibnu Katsir, Al-Wahidi dan beberapa mufassir lain memaknainya: Ingatlah, wahai Muhammad, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.
Seruan kepada Rasulullah saw. berarti juga seruan kepada umatnya.
Perkara yang diperintahkan untuk diingat adalah kisah awal kejadian manusia. Sebelum menciptakan manusia, Allah Swt. terlebih dulu memberitakannya kepada para malaikat. Kata al-malâikah merupakan bentuk jamak dari kata al-malak. Kepada para malaikat itu Allah Swt. berfirman: Innî jâ’ilun fî al-ardhi khalîfah (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi). Kata jâ’ilun bermakna khâliqun.
Perkara yang diperintahkan untuk diingat adalah kisah awal kejadian manusia. Sebelum menciptakan manusia, Allah Swt. terlebih dulu memberitakannya kepada para malaikat. Kata al-malâikah merupakan bentuk jamak dari kata al-malak. Kepada para malaikat itu Allah Swt. berfirman: Innî jâ’ilun fî al-ardhi khalîfah (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi). Kata jâ’ilun bermakna khâliqun.
Kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebalumnya. Atas dasar ini ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu utau menjadikan manausia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah mermaksud menguji manusia dan memberiknya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi[1]
Adapun al-ardh adalah seluruh bumi yang kini ditempati manusia. Di situlah Allah Swt. akan menjadikan khalîfah. Kata khalîfah berasal dari kata khalîf wazan fa‘îl. Tambahan huruf al-hâ’ berfungsi li al-mubâlaghah (untuk melebihkan).[2] Kata khalîfah berarti suatu pihak yang menggantikan lainnya, menempati kedudukannya, dan mewakili urusannya. Secara bahasa, seluruh mufassirin sepakat, yang dimaksud dengan khalîfah di sini adalah Adam as.
Imam al-qurtubi dan ulama lainya menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menujukkan kehaursan mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara di tengah-tengah umat manusia, mengakhiri pertikaian mereka, menolong orang-orang teraniaya dari yang menzalimi, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji,dan berbagai hal yang penting lainnya yang tidak mungkin detegakkan kecuali dengan adanya pemimpin, dalam qaidah usul fiqih disebutkan:
وَمَا لاَ يـَتـِمُّ اْلـوَاجـِبُ إِلاَّ بِهِ فَهـُوَ وَاجـِبٌ.
sesuatu yang menjadikan sesuatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal wajib pula[3]
Kata fasâd berarti kerusakan. Kerusakan di bumi itu adalah kekufuran dan segala tindakan maksiat. Adapun yang dimaksud dengan menumpahkan darah adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syariah. Sebenarnya, pembunuhan secara zalim itu termasuk dalam cakupan fasâd atau kerusakan. Disebutkannya secara khusus setelah ungkapan umum (athf al-khâsh ’alâ al-’âmm) itu menunjukkan besarnya maksiat dan kerusakan yang ditimbulkan akibat pembunuhan.
Dari manakah para malaikat mengetahui sifat-sifat buruk manusia itu, padahal manusia belum diciptakan? Pengetahuan itu berasal dari: pemberitahuan Allah Swt.; bisa pula dari al-lawh al-mahfûzh; berdasarkan analogi terhadap sifat banû al-jân yang sebelumnya menghuni bumi; bisa juga dari pemahaman mereka terhadap tabiat basyariyyah, yang sebagiannya telah diceritakan Allah Swt.—bahwa mereka diciptakan dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS al-Hijr: 26); atau dari pemahaman mereka dari kedudukan khalifah yang bertugas menyelesaikan kezaliman yang terjadi di antara manusia dan mencegah manusia dari perkara haram dan dosa.
Selanjutnya mereka juga berkata: wa nahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisu laka (padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?). Ber-tasbîh kepada Allah Swt. berarti mensucikan-Nya dan menjauhkan-Nya dari segala sesuatu yang buruk dalam kerangka ta‘zhîm. Adapun men-taqdîs-kan Allah Swt. bermakna mensucikan-Nya dan menjauhkan segala sesuatu yang tidak pantas dari-Nya.
Patut dicatat, para mufassir sepakat bahwa pertanyaan para malaikat itu bukan dimaksudkan untuk membantah kehendak Allah Swt. atau dilandasi sikap hasud terhadap Adam as. Sebab, mereka adalah hamba Allah yang mulia, taat, dan tidak pernah membangkang perintah-Nya (QS at-Tahrim: 6; al-Anbiya’: 26-27). Perkataan mereka semata-mata bertujuan untuk meminta kejelasan atau untuk mengungkap hikmah tersembunyi di balik penciptaan itu.
Allah Swt. menjawab pertanyaan malaikat itu: Innî a’lamu mâ lâ ta’lamûn (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui). Artinya : “pengetahuanmu wahai makhlukku sebatas makhluk saja sedangkan pengetahuan-Ku amat sangat luas, kekal dan abadi.[4] Allah lebih mengetahui kemaslahatan yang râjih pada penciptaan itu. Sesungguhnya Dia adalah Allah lebih mengetahui para rasul di tengah-tengah manusia. Di antara mereka juga ada orang-orang yang membenarkan (ash-shiddiqûn), syahid, shalih, ahli ibadah, zuhud, wali, berbuat kebajikan, al-muqarrabûn, ulama al-‘âmilûn, khusyuk, mencintai Allah, dan mengikuti rasul-rasul-Nya.
Surat Al-Baqarah ayat: 31
Artinya: dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (Al-baqarah: 31)
Tafsir ayat.
Nama-nama (asma) memiliki makna ilmu atau pengetahuan. Allah memberikan Adam (berkaitan dengan adam yang memiliki arti debu di permukaan Bumi) segala pengetahuan tentang sifat-sifat dan tindakan-tindakan di dalam dunia penciptaan, yang mana sifat dan tindakan itu dilambangkan dengan nama-nama tertentu. Nama-nama itu kemudian ditunjukkan kepada para malaikat yang, karena keterbatasan mereka, tidak dapat memahaminya. Dalam pengetahuan itu ada kemampuan bawaan untuk membedakan antara kasih sayang dan siksaan, yang mana disimbolkan dengan "rahman" dan "syaithan." Jadinya, penciptaan manusia dalam dirinya sudah mengandung petunjuk arah bawaan untuk memandu manusia pergi menuju Allah.
Para ahli Tafsir, dari sudut pandang berbagai gaya penafsiran mereka, telah melontarkan pendapat. Pendapat yang berbeda menyangkut kata “mengajarkan nama-nama” yang telah di jelaskan dalam pembahasan sebelumnya, akan tetapi nama-nama ini maksudnya bukan mengajarkan beberapa kata yang tidak penting. Karena hal itu tidak di pandang sebagai kemuliaan Nabi Adam As.
Di riwayatkan dalam sebuah Hadist, Imam Ash-Shadiq ra di Tanya mengenai makna ayat ini, beliau menjawab, “Maksud nama-nama adalah ; daratan, gunung gemunung, lembah, palung sungai (dan secara keseluruhan segala hal)”. Kemudian Imam Ash-Shakir termasuk Ash-shidiq ra melihat tikar yang ada di bawahnya dia berkata, “Tikar itu pun termasuk benda-benda yang di ajarkan kepada Nabi Adam As.[5] Ibn Jarir berkata: “Allah mengajarnya nama-nama termasuk yang kecil seperti kendi, periuk dan setiap sesuatu.” Inilah juga yang dinaqalkan oleh al-Syaukani.[6]
Sesudah Adam dijadikan, kepadanya telah diajarkan oleh Allah nama-nama yang dapat dicapai oleh kekuatan manusia, baik dengan pancaindra ataupun dengan akal semata-mata, semuanya diajarkan kepadanya. Kemudian Allah panggillah Malaikat-malaikat itu dan Allah tanyakan adakah mereka tahu nama-nama itu ? Jika benar pendapat mereka selama ini bahwa jika khalifah itu terjadi akan timbul bahaya kerusakan dan pertumpahan darah, sekarang cobalah jawab pertanyaan Allah : Dapatkah mereka (Malaikat) menunjukkan nama-nama itu ?
Firman Allah SWT:
Artinya: "Mereka menjawab :Maha Suci Engkau! ? tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu, lagi.Maha bijcakscaraa. " (ayat 32).
Di sini nampak penjawaban Malaikat yang mengakui kekurangan mereka.Tidak ada pada mereka pengetahuan, kecuali apa yang diajarkan Tuhan juga. Mereka memohon ampun dan karunia., menjunjung kesucian Allah bahwasanya pengetahuan mereka tidak lebih daripada apa yang diajarkan juga, lain tidak. Yang mengetahui akan semua hanya Allah. Yang bijaksana membagi-bagikan ilmu kepada barangsiapa yang Dia kehendaki, hanyalah Dia juga.
Dalam ayat diatas allah menjelaskan bahwa manusia lebih mulia dari pada malaikat. Para malaikat memang lebih banyak beribadat dari pada adam. Namun, mereka tidak ahli untuk menendalikan kekhalifahan. Syarat mutlak untuk memegang kekhalifahan adalah ilmu. Inilah pegangan yang sangat diperlukan. Dalam kaitan ini, tidaklah mengherankan jika ada ungkapan : knowledge is power, ilmu adalah kekuatan. Adam menjadi lebih utama dibanding malaikat karena dia lebih alim daripada mereka.[7]
Manusia dan Tujuan hidup
Manusia dalam bahas arab adalah “Insaan” jama’nya adalah “Al-Naas” Sebagian orang berpendapat bahwa kata al-insân (yang berarti manusia) berasal dari kata al-nisyân (yang berarti lupa). Dengan kata lain, manusia dalam hidupnya selalu identik dengan lupa. Apakah demikian?
Ibn Miskawayh, seorang filsuf Muslim dalam bidang filsafat etika yang masyhur dengan karya manumentalnya, Tahdzîb al-Akhlâq (Menuju Kesempurnaan Akhlak), menjelaskan dengan sangat komprehensif makna filosofis kata al-insân. Ia berpendapat bahwa kata al-insân (yang berarti manusia dalam bahasa Indonesia) berasal dari kata al-uns yang berarti intimacy (keintiman), atau dalam kamus kontemporer Hans Wehr, kata al-uns berarti sociability, dan familiarity. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk sosial yang secara alami memiliki hubungan keintiman dan kekeluargaan antara satu sama lain.
Begitu banyak dari para ilmuwan di dunia yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Tapi, yang menarik dari penjelasan Ibn Miskawayh adalah, ia mampu memberikan pemahaman konsep manusia kepada kita dengan pendekatan filosofis melalui perbendaharaan kata yang ada. Sehingga pada akhirnya, kita termotivasi untuk berbuat baik serta melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk diri kita sendiri maupun orang lain.
Islam dengan perantara Nabi Muhammad saw, dalam pandangan Ibn Miskawayh, adalah agama yang mendukung para penganutnya (manusia) untuk bersosialisasi, mengembangkan hubungan keintiman, dan menumbuhkan rasa kekeluargaan antara satu sama lain. Dalam Islam, setiap penganutnya selalu dianjurkan (sunnah) untuk melakukan peribadatan dan kebaikan secara bersama-sama (jamâ‘ah) seperti sholat lima waktu dan lain sebagainya. Sehingga berkat kebersamaan tersebut terjadilah apa yang telah diteladankan oleh Nabi Besar kita, Muhammad saw, yakni silaturahim (shilat al-rahim).[8] agama islam sangat mempertimbangkan hubungan sosial, karena kepedulan islam akan maslahat bersosial maka dalam rangka menciptakan suasana social yang damai dan beriman maka harus ada sosok pemimpin yang mapu membawa pada pola hidup rukun, saling menghormati dan saling berkasih sayang.
Dari beberapa nukilan dan tafsir surat Al-baqarah ayat 30 dan 31 diatas dapatlah kita simpulkan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia adalah:
Sebagai khalifah (pemimpin) dimuka bumi. Dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi tentu harus dibekali dengan ilmu pengetahmuan, sebagai mana Allah telah membekali Nabi Adam dengan ilmu pengetahuan, mengajarkan nama-nama segala sesuati agar Nabi adam menjadi pemimpin yang cerdas dibumi.
Sudah Nampak jelas bahwa secara historis bahwa manusia adalah calon pemimpin yang berilmu pengetahuan. Para ahli tafsir mengalami perbedaan pendapat diantara mereka dalam hal: khalîfah bagi siapakah Adam itu?
Pertama: khalîfah bagi jin atau banû al-jân. Alasannya, sebelum manusia diciptakan, penghuni bumi adalah banû al-jân. Namun, karena mereka banyak berbuat kerusakan, Allah Swt. kemudian mengutus para malaikat untuk mengusir dan menyingkirkan mereka. Setelah mereka berhasil disingkirkan sampai di pesisir dan gunung. Adam as.diciptakan untuk menggantikan kedudukan dan posisi mereka.
Kedua: khalîfah bagi malaikat. Demikian pendapat asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi. Sebab, setelah berhasil menyingkirkan banû al-jân, malaikatlah yang tinggal di bumi. Karena itu, yang digantikan Adam as adalah malaikat, bukan jin atau banû al-jân.[9]
Ketiga: disebut khalîfah karena mereka menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir. Pendapat ini didasarkan pada QS al-An‘am: 165, an-Naml: 62, az-Zukhruf: 6, dan Maryam 59.
Keempat: menjadi khalîfah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya.[10] Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Jauzi, dan asy-Syinqithi. Status ini bukan hanya disandang oleh Adam as, namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia. Menurut al-Qasimi, kesimpulan ini didasarkan pada QS Shad: 26.
Di antara keempat penafsiran itu, penafsiran keempat tampaknya lebih dapat diterima. Penafsiran ketiga, meskipun tak bertentangan dengan fakta kehidupan, respon malaikat menunjukkan, kedudukan khalifah tak sekadar itu. Menurut para malaikat, khalifah di muka bumi itu haruslah ahl al-thâ‘ah, bukan ahl al-ma‘shiyyah. Jika kedudukan sebagai khalifah hanya merupakan siklus kehidupan, generasi digantikan dengan generasi berikutnya, tentu tak mengharuskan khalifah dari kalangan ahl al-thâ‘ah.
Alasan yang sama juga dapat digunakan untuk menolak penafsiran pertama dan kedua jika peristiwa itu benar-benar terjadi. Sebagai catatan, penafsiran pertama dan kedua didasarkan pada hadis mawqûf yang tidak dapat menghasilkan keyakinan. Dalam frasa berikutnya disebutkan: Qâlû ataj’alû fîhâ man yufsidu fîhâ wa yafsiku dimâ’ (Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.”).
Allah menciptakan manusia sebagai khalifah adalah dalam rangka untuk mengabdi kepadanya, yaitu menjadi hamba yang selalu beribadah kepadanya sebagaimana yang Allah katakana dalam al-qur’an:
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-dzariat: 57)
Hubungan Surat Al-Baqarah Ayat 30-31 dengan Pendidikan
Dari pernjelasan tafsir diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa surat Al-baqarah ayat 30 dan 31, disamping mengandung makna tujuan penciptaan manusia, tetapi juga mengandung makna pentingnya sebuah pendidikan. Allah menciptakan manusia adalah untuk menjadi sosok pemimpin (Khalifah) yang akan memimpin dan mengisi planet bumi ini, Allah menciptakan bumi serta isinya untuk kemaslahatan manusia, agar manusia tenang dalam beribadah, “Hablum minAllah” serta rukun dalam menjalin hubungan dengan manusia yang lain “hablum minannas”.
Dari penjelasan ayat diatas pula kita dapat mengambil pelajaran bahwa ternyata manusia, secara historis memang diciptakan oleh Allah untuk menjadi makhluk yang pintar dan cerdas, sebagai mana Allah mengajarkan Nabi Adam as nama-nama sesuatu sebagai pembekalan sebelum terjun kebumi untuk menjadi pemimpin “khalaifah”.
Kemudian Allah juga mengisyaratkan dari surat Al-baqarah ayat 31 diatas bahwa bagian dari metode pembelajaran yang efektif adalah dengan mengenal hal-hal yang ada disekitar manusia, terutama dalam metode pembelajaran ilmu bahasa.
Allah menciptakan manusia lebih cerdas dengan makhluk-Nya yang lain. yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain secara mendasar adalah diberikannya akal dan potensi kecerdasan dan daya menghafal yang tinggi, oleh karena itu metode pembelajaran yang Allah ajarkan kepada nabi Adam as adalah metode menghafal.
Pertanya malaikat kepada Allah SWT tentang mengapa diciptakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi sedangkan malaikat tahu bahwa manusia banyak melakukan pertumpahan darah, pertanyaan seperti ini merupakan hikmah bahwa dalam pendidikan diperlukan sikap kritis dan pentingnya bertanya untuk memahami sesuatu.
Hakikat ilmu pengetahuan adalah dari Allah SWT. Tidaklah manusia itu dikatakan sebagai manusia berilmu melainkan atas izin dan karunia dari Allah SWT.
……Wallahu a’lam bisshawaab….
Daftar Pustaka
1. Al-qur’anul Karim
2. Ibnu katsir, Abu fida’ ismail, imadudin, Tafsir Qur’anul ‘adzim. Al-qahirah (Maktabah At-tauqifiah)
3. Ibnu Muhammad Al-syaukani, Muhammad Ali, Fath Al-qadir. Al-riyadl (Daar An-nadwah Al-‘alamiyah linnasyri wat tauzii’ 2005)
4. Al-sa’di, ibnu nasir, Abdul Rahman, Tafsir karimur rahman, Bairut Lebanon (Muassasah Al-risaalah 2002)
5. Sya’rawi, Al-mutawally, Syaikh Muhammad, Tafsir Sya’rawi terjemahan, Jakarta (PT. Ikrar Mandiriabadi 2004)
6. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah” kesan dan keserasihan Al-qur’an”. Jakarta, (Lentera Hati 2007)
7. al-Andalusi, Hayyan Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 Beirut lebanon (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993)
11. [1] http://ummatanwasatan.net
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah” kesan dan keserasihan Al-qur’an”.Lentera Hati, Jakarta, 2007 Jilid 1 cet. Ke-10, hal. 142
[2] Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 284; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.
[3] Ibnu katsir, Tafsiirul qur’anul ‘adziim, Daarut tauqifiah,Kairo , hal.107
[4] Muhammad mutawally Sya’rawi, Tafsir sya’rawi terjemahan, PT. Ikrar Mandiribudi, Jakarta,2004. Hal. 164
[6] http://ummatanwasatan.net
[7] Ibnu katsir, Tafsiirul qur’anul ‘adziim,
[9]Muhammad Ali ibnu Muhammad Al-syaukani, Tafsir Fathul qadir ”Al-jaami’u baina fanniur riwaayah wad diraayah min ulumit tafsir” Darul wafa’,Riyadl 2005 cet. Ke-3, Jilid 1 Hal.157